Jakarta | SNN - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan uji materiil Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Putusan Nomor 15/PUU-XXI/2023 dibacakan pada Kamis (30/03/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Eliadi Hulu beserta sebelas perseorangan warga negara lainnya.
“Menyatakan permohonan Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon VII, Pemohon IX, dan Pemohon X berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak dapat diterima.
Menyatakan permohonan Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VIII, Pemohon XI, dan Pemohon XII berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa gugur. Menyatakan permohonan Pemohon I berkenaan dengan pengujian Penjelasan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak dapat diterima.
Menolak permohonan Pemohon I untuk selain dan selebihnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, MK mengatakan berkenaan dengan pembatasan masa jabatan publik pada umumnya, UUD 1945 hanya menentukan secara eksplisit pembatasan masa jabatan untuk beberapa jabatan publik saja. Dalam hal ini, jabatan kepala desa tidak diatur dalam UUD 1945 melainkan diatur dalam undang-undang.
Salah satu alasan pembedaan pengaturan demikian tidak terlepas dari kekhasan pemerintahan desa dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
“Berkaitan dengan pembatasan masa jabatan kepala desa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 adalah selama 6 (enam) tahun dan dapat menjabat kembali paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. Dengan kata lain, seseorang dapat menjabat sebagai kepala desa paling lama 18 (delapan belas) tahun.
Dalam batas penalaran yang wajar, pembatasan demikian tidak hanya sebatas dimaksudkan untuk membuka kesempatan kepastian terjadinya alih generasi kepemimpinan di semua tingkatan pemerintahan termasuk di tingkat desa, tetapi juga mencegah penyalahgunaan kekuasaan (power tends to corrupt) karena terlalu lama berkuasa [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021],”jelas Enny.
Menurut MK, dinamika perubahan pada pengaturan mengenai masa jabatan kepala desa sangatlah tergantung pada faktor filosofis, yuridis, dan sosiologis yang memengaruhi pada saat ketentuan tersebut dibuat.
Dengan kata lain, lanjut Enny, apabila suatu saat pembentuk undang-undang berpendirian bahwa dengan memerhatikan perkembangan masyarakat terdapat kebutuhan untuk membatasi masa jabatan kepala desa, termasuk dengan menentukan periodisasi masa jabatan yang mungkin saja berbeda dengan ketentuan sebelumnya, hal itu tidaklah serta-merta dapat diartikan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pertimbangan untuk melakukan pembatasan demikian tidak memuat hal-hal yang dilarang oleh UUD 1945.
Termasuk juga apabila terdapat pembedaan mengenai jangka waktu kepala desa menjabat dengan masa jabatan publik lainnya, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang.
Oleh karena itu, tidaklah relevan untuk mempersamakan antara masa jabatan kepala desa dengan masa jabatan publik lainnya, termasuk dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden serta masa jabatan kepala daerah.
Dengan demikian, dalil Pemohon I berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 mengenai masa jabatan kepala desa yang harus dibatasi sesuai dengan konstitusi yaitu 5 (lima) tahun dengan periodisasi sebanyak 2 (dua) kali adalah tidak beralasan menurut hukum.
Lebih lanjut, Mahkamah menilai ketentuan norma Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan telah memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan dengan berlakunya Pasal 39 ayat (1) UU Desa yang memberikan hak kepada kepala desa menjabat selama 6 tahun dalam satu periode telah menyebabkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.
Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.(amir torong)