Belanda | SNN -Asosiasi
Riset Kanker seluruh Eropa di Belanda.
Hasil riset berkaitan dengan tingkat safety (keamanan) dan efficacy
(kebermanfaatan) ECCT pada hewan coba tikus yang diselenggarakan di
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada dipublikasikan di Kongres Dunia
50 Tahun European Association of Cancer Research (EACR) yang
diselenggarakan di Amsterdam, Belanda tanggal 30 Juni—3 Juli 2018.
ECCT atau Electro-Capacitive Cancer Therapy adalah teknologi terapi
kanker berbasis listrik kapasitansi yang dikembangkan oleh Dr. Warsito
P. Taruno dan tim di PT. C-Tech Lab Edwar Teknologi, Tangerang, Banten.
Paten
ECCT diloloskan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada September 2017
dengan nomor IDP000047826
Percobaan yang dilakukan bersama tim mahasiswa dan dosen Fakultas
Biologi UGM dilakukan terhadap 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 4
kelompok masing-masing 6 tikus, dua kelompok tikus yang diinduksi dengan
tumor dan dua kelompok tikus placebo.
Satu
kelompok tikus yang diinduksi tumor dan satu kelompok tikus placebo
dilakukan pajanan medan listrik dari ECCT yang didesain dalam bentuk
kandang tikus dengan intensitas mencapai 200mVolt/cm pada bagian tengah
kandang, dengan frekuensi yang diberikan berkiasar antara 100kHz hingga
300kHz.
Intensitas
yang diberikan setara atau sedikit lebih rendah di bawah intensitas
paparan listrik statis yang keluar dari smartphone pada umumnya.
Pemaparan terhadap tikus dilakukan selama 10 jam per hari selama 3
minggu berturut-turut.
Riset yang dilakukan di di fasilitas laboratorium milik Fakultas Biologi
UGM selama tahun 2017 ini merupakan tindak lanjut dari riset awal
terhadap 9 ekor tikus yang dilakukan di Bimana Indomedical bersama
peneliti Bimana dan Pusat Studi Satwa Primata IPB.
Saat
ini riset ECCT juga dilakukan di RS Dr. Soetomo Surabaya untuk riset
klinis dibiayai oleh Kemenristekdikti.
Hasil riset yang dipaparkan oleh Dr. Firman Alamsyah, kepala
Laboratorium Biofisika, C-Tech Labs mengklaim bahwa ECCT mampu
menghambat laju pertumbuhan sel kanker pada tikus.
Data
yang dia publikasikan menunjukkan tingkat penghambatan rata-rata dari
pertumbuhan awal 0.121 cm2/hari berkurang menjadi rata-rata 0.01
cm2/hari atau rata-rata mencapai tingkat penghambatan hingga 92% secara
volume.
Hasil lab darah dan patologi anatomi terhadap jaringan tumor tikus juga
menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan pada fungsi ginjal
dan liver, ritme jantung maupun jumlah hitungan sel darah pada tikus
yang diinduksi tumor maupun tikus sehat yang diberi pajanan medan
listrik ECCT.
Hasil
patologi anatomi jaringan tumor menunjukkan meningkatnya aktifitas sel
darah putih (limfosit) dan sel makrofaji yang lebih dominan pada tikus
yang diberi pajanan medan listrik. Dr. Firman mengklaim bahwa hal itu
menandakan bahwa ECCT mendorong kerja sistem imunitas tubuh menjadi
lebih aktif dengan memproduksi sel darah putih dan sel makrofaji lebih
banyak untuk memakan dan menyerap sel-sel kanker yang sudah mati.
Menurut
Dr. Warsito frekuensi alat ECCT dirancang untuk menghasilkan medan
listrik agar terjadi interaksi melalui mekanisme polarisasi listrik
statis pada tingkat mikrotubula pada inti sel untuk mempengaruhi
distribusi medan listrik pada tingkat molekuler inti sel kanker sehingga
bisa mengacaukan pembelahan sel dan mendorong sel kanker melakukan
self-destruction (bunuh diri).
Hasil
penelitian pada tikus di UGM menunjukkan proses kematian sel kanker
yang berbeda-beda yang secara umum dikelompokkan menjadi tiga: 1. Proses
lysis (luruh) yang ditandai dengan nodul tumor yang berangsur-angsur
mengecil hingga hilang; 2. Proses detachment (lepas) yang ditandai
dengan proses nodul tumor yang berangsur-angsur menghitam, mengering dan
lepas dari posisinya meninggalkan luka terbuka yang kemudian
berangsur-angsur mengering dan menutup dengan sendirinya; 3.
Proses
kistik yang ditandai dengan nodul padat yang berubah menjadi kista cair
(nekrosis) dengan volume yang cenderung membesar tetapi
melunak/mencair. Firman menjelaskan bahwa proses kematian sel kanker
seperti ini bisa terjadi karena ECCT bekerja selaras dengan aktifitas
sistem imunitas tubuh pada tikus, sehingga kematian yang terjadi
berlangsung secara alamiah.
Dr.
Sahudi dalam disertasinya di Fakultas Kedokteran Unair tahun 2015 yang
berjudul “Mekanisme Kematian Sel Akibat Pajanan Medan Listrik Energi
Lemah dengan Frekuensi Menengah” menjelaskan bahwa kematian sel kanker
akibat pajanan ECCT bisa melalui berbagai skenario antara lain apoptosis
(lysis), nekrosis atau pun slow-death (kematian secara perlahan).
Riset
yang dilakukan di Unair ini untuk pertama kali mengungkap proses
kematian sel kanker yang terjadi secara alamiah pada tikus didorong oleh
pajanan medan listrik.
Warsito menjelaskan bahwa medan listrik yang dihasilkan oleh alat ECCT
berinteraksi dengan listrik statis yang mengalami polarisasi cukup
tinggi pada molekul mikrotubula di dalam sel kanker yang sedang
membelah.
“Medan
listrik yang ditbangkitkan oleh alat ECCT menghasilkan gaya momen
listrik yang bekerja sebagai “electric-scissors (gunting listrik)” yang
menimbulkan electric-shear force (gaya geser) yang memutus ikatan
listrik statis pada struktur molekul mikrotubula pada saat sel sedang
membelah, “jelas Warsito.
“Pada
saat sel sedang diam atau tidak sedang membelah mikrotubula tidak dalam
posisi yang “terentang” sehingga tidak mudah diputus oleh “gunting
listrik” dari alat ECCT. Karenanya ECCT hanya bekerja pada saat sel
sedang mengalami pembelahan,” kata Warsito. “Pembelahan sel bisa terjadi
baik pada sel kanker maupun sel sehat, tetapi pembelahan sel kanker
terjadi lebih massif sehingga efek destruktif terhadap sel kanker lebih
besar,” imbuhnya.
Warsito
juga menambahkan bahwa gaya momen listrik yang bekerja sebagai “gunting
listrik” selain dipengaruhi oleh tingkat polaritas sel kanker yang
berbeda berdasarkan jenis sel dan juga dipengaruhi oleh sifat
dielektrika jaringan sekitar sel kanker. Kekuatan gaya momen listrik ini
yang dipengaruhi oleh jenis sel kanker dan jaringan sekitar di mana sel
kanker berada ini kemungkinan yang menentukan proses bagaimana sel
kanker mati, atau bisa juga tidak cukup bisa mati apabila gaya momen
listrik ini tidak cukup kuat, jelasnya.
“Hasil
riset tikus yang menunjukkan bahwa ECCT bekerja selaras dengan sistem
imunitas tubuh membuka potensi pengembangan terapi baru terhadap kanker
dengan menggabungkan ECCT dengan metode immunotherapy,” kata Warsito.
Kongres
EACR yang diselenggarakan setiap 2 tahun sekali telah mencapai 50
tahun, salah satu tujuannya adalah untuk mengembangkan metode pengobatan
kanker yang “affordable (terjangkau)” sebagaimana disampaikan oleh
Professor Rene Bernards dalam keynote speech dengan topik "Bringing
affordable healthcare to the clinic".
Dr.
Firman Alamsyah, ahli biologi molekuler yang mendapatkan gelar doktoral
dari the University of Tokyo, merupakan satu-satunya peneliti kanker
dari Indonesia yang terpilih sebagai ambassador dalam General Assembly
EACR.(rel)